Minggu, 09 Februari 2014

HUKUM MEWARNAI RAMBUT MENURUT ISLAM

Comments 0 Viewers
HUKUM MEWARNAI RAMBUT MENURUT ISLAM

Tak asing lagi bagi kita, mendengar atau melihat orang-orang yang tadinya beruban namun “tiba-tiba kembali” seperti muda lagi, atau para remaja sampai dewasa yang mempunyai warna rambut yang “ngejreng”, mulai dari warna gelap sampai warna yang begitu mencolok.

Banyak motif mungkin yang membuat rambut itu menjadi tidak seperti adanya. Mulai dari motif ingin mempercantik diri, motif ketidaknyamanan dengan keadaan yang sebenarnya, bahkan motif taqlid yang sekedar ingin dianggap “gaul”. Sayangnya, alasan yang terakhir ini adalah alasan yang banyak dilontarkan oleh kaum muda yang tidak mafhum asal-usul dan dasarnya.

Jika muncul pertanyaan: “Bukankah memang dibolehkan oleh Rosul, asalkan jangan menyemir rambut dengan yang berwarna hitam?”.

Hemat saya, memang sebenarnya, mewarnai rambut telah ada semenjak zaman Rosul. Tapi kita tak boleh membayangkan bahwasannya pada zaman rosul diperbolehkannya mewarnai rambut adalah untuk sekedar “gaul” atau pun misalnya, ada yang membayangkan mungkin saja pada saat itu sahabat yang dibolehkan menyemir rambut untuk tujuan “modis”?

Maka yang ingin saya coba uraikan disini adalah tidak hanya hukum mewarnai rambut. Tapi juga, pandangan saya terhadap tujuan-tujuan menyemir rambut itu sendiri. Yang tentu saja. Dimulai dari sebuah tujuan atau niat itu sendirilah yang membuat adanya suatu hukum. Bisa makruh, mubah, haram, sunnah, bahkan wajib.

Oleh karena itu, perlunya mendefinisikan pemahaman-pemahaman kita tentang masalah ini. Karena membiarkan suatu pemahaman tanpa pendefinisian yang jelas akan membuat suatu masalah menjadi seperti karet yang dapat ditarik ulur dan kembali pada keadaan semula, serta membuat setiap orang awam dapat menafsirkannya sekehendak hatinya. Ini tentunya amat berbahaya.

Dan jika terdapat perbedaan para ulama tersebut, saya fikir itu wajar. Karena ijtihad seseorang tidak mungkin sama persis. Dengan catatan, hasil ijtihad tersebut mempunyai dalil naqli yang jelas, kuat, dan shohih. Karena segala sesuatu sudah selayaknya dapat dipertanggungjawabkan. Apalagi ini menyangkut hajat hidup orang banyak.

Dan kita sebagai muslim, patutlah untuk selalu merujuk pada Al-Quran dan hadits juga ijtihad ‘alim Ulama.

1. Pengertian

Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai hukum mewarnai rambut yang dilandasi as-Sunnah, kita harus mengerti juga apa itu AsSunnah.

Menurut para ahli ushul fiqih, sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi saw., berupa ucapan, perbuatan, atau persetujuan. Ia dalam pandangan ulama ushul ini, adalah salah satu sumber dari berbagai sumber syariat. Oleh karena itu, ia bergandengan dengan Al-Qur’an. Misalnya, ada redaksi ulama yang mengatakan tentang hukum sesuatu: masalah ini telah ditetapkan hukumnya oleh Al-Qur’an dan sunnah.

Sementara, para ahli hadits menambah definisi lain tentang sunnah. Mereka mengatakan bahwa sunnah adalah apa yang dinisbatkan kepada Nabi saw, berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, atau deskripsi–baik fisik maupun akhlak–atau juga sirah (biografi Rasul saw.).

Menurut Abdul Wahab Khallaf Assunnah itu bertujuan untuk pemberlakuan syariat. Yang mempunyai tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini dengan menarik segala sesuatu yang manfaat dan menolak sesuatu yang mudharat.
2. Hukum Menyemir Rambut

Hukum mewarnakan rambut perlu dilihat dari berbagai aspek, seperti tujuan mewarnainya, jenis-jenis warna dan pihak-pihak yang terlibat dengan kegiatan mewarna serta kesannya kepada diri, keluarga dan masyarakat.

Hadist – Hadist yang menunjukan tentang semir rambut adalah sunah fitrah, yang berarti sunah fitrah adalah masalah-masalah yang sudah ada sejak zaman dahulu.

Seperti kutipan sebuah hadits yang menjadi dasar hukum:

Dari Jabir r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. didatangi oleh para sahabat dengan disertai oleh Abu Quhafah yaitu ayahnya Abu Bakar as-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma pada hari pembebasan kota Makkah, sedang kepala dan janggut Abu Quhafah itu sudah putih bagaikan bunga tsaghamah, kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ubahlah olehmu semua warna putih ini, tetapi jauhilah -yakni janganlah menggunakan -warna hitam.” (Riwayat Muslim)

Berdasarkan hadist di atas, dalam hal ini, saya mencoba mengklasifikasikan hukum menyemir rambut tersebut kedalam 3 hal. Yakni kita jangan hanya memahaminya secara tekstual saja, namun secara kondisional dan fungsional.

Sebelum saya mengklasifikasinya, kita perlu mengetahui juga pendapat-pendapat para ulama berdasarkan ilmu dan mazhab masing-masing.

3. Perbedaan Pendapat Tentang Menyemir Rambut

Dari buku fikih sunah ada perbedaan pendapat beberapa ulama karena para sahabat ada yang menyemir rambutnya dan ada yang tidak, karena ada hadist yang menyatakan :

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari neneknya lelaki r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: “Janganlah engkau semua mencabuti uban, sebab uban itu adalah merupakan cahaya seorang Muslim pada hari kiamat.”

Hadis hasan yang diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud dan Tirmidzi serta Nasa’i dengan sanad-sanad yang bagus.

Imam Termidzi mengatakan bahwa

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya: “Rasulullah s a w bersabda:

“Barangsiapa yang mengerjakan sesuatu amalan yang tidak ada perintah dari kita, maka amalan itu wajib ditolak.”

Pandangan Hukum menyemir rambut dengan warna hitam, menurut para ulama.

1) Makruh

Menurut Mazhab Maliki, Abu Hanifah, sebagian ulama Syafi’I seperti Imam Ghazali, AL baghawi.

Tapi jika Alasan menghitamkan rambut adalah bertujuan untuk menakutkan musuh di dalam peperangan, maka hukumnya adalah harus.

Dalil yang dijadikan landasannya adalah

a) Sabda Nabi SAW : “Tukarlah ia (warna rambut, janggut misai) dan jauhilah dari warna hitam” (Shohih Muslim)

b) Berkata Ibn Umar ra : “Kekuningan pewarna para mukmin, kemerahan pewarna para Muslimin, Hitam pewarna puak Kuffar” (Riwayat At-Tobrani, Al-Haithami)

c) Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa yang mewarnakan rambutnya dengan warna hitam, nescaya Allah akan menghitamkan wajahnya di akhirat kelak” (Al-Haithami, bagaimanapun Ibn Hajar berkata seorang perawinya agak lemah, bagaimanapun rawi tersebut diterima oleh Imam Yahya Mai’en dan Imam Ahmad)

2) Haram

Ini adalah pandangan Mahzab Syafi’i. Dikecualikan jika untuk jihad. Mereka berdalil dengan dalil kumpulan pertama tadi.

3) Harus tanpa makruh

Yang berpendapat seperti ini adalah Imam Abu Yusuf dan Ibn Sirin

Dalil mereka :

a) Sabda Nabi SAW : “Sebaik-baik pewarna yang kamu gunakan adalah warna hitam ini, ia lebih digemari oleh isteri2 kamu, dan lebih dpt menakutkan musuh” (Riwayat Ibn Majah, bagaimanapun ia adalah hadith Dhoif)

b) Diriwayatakan bhw sahabat dan tabi’ein ramai juga yang mewarnakan rambut mrk dengan warna hitam. Antara Sa’ad, ‘Uqbah bin ‘Amir, Az-Zuhri dan diakui oleh Hasan Al-Basri. (Lihat Fath al-Bari, Majma’ az-Zawaid dan Tahzib al-Atharoleh At-Tabari)

Dari sekian pandangna para ulama tersebut, Ust. Zaharudin Abd Rahman menyimpulkan :

Hadist yang melarang maksudnya adalah melarang karena dengan yang tadinya terlihat tua dan beruban tapi jika disemir oleh warna muda menjadi terlihat muda. Baik itu dikalangan wanita ataupun pria.

Adapun hadist yang membolehkan, maksudnya adalah dalam keadaan yang tidak melanggar syara’. Seperti perang untuk menakuti musuh ataupun tidak mengandung unsur penipuan, seperti merawat penyakit.



4. Fenomena Dalam Masyarakat

· Wanita dalam Menyemir Rambut

Jika dalam pemaparan diatas yang lebih dominan menitik beratkan pada pria, namun kenyataannya kini wanita pun tak jarang melakukan penyemiran rambut.

Wanita kini sanggup melakukan berbagai cara untuk terlihat cantik. Termasuk menyemir rambut dengan warna yang tidak hanya hitam melainkan juga warna-warna pirang.

Pensyarah Jabatan Fiqh dan Usul, Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, Prof. Madya Dr. Anisah Ab. Ghani berkata, menjaga kecantikan memang digalakkan oleh Islam tetapi pelaksanaannya mestilah berlandaskan hukum syara’.

Dr. Anisah menegaskan, penggunaan pewarna rambut untuk tujuan mewarna mestilah menepati tiga syarat yaitu boleh menyerap air supaya air sembahyang dan mandi wajib sah, tidak mengandungi bahan yang kemudaratan pada kulit dan bahan tidak bercampur dengan najis.

Jika niatnya untuk mempercantik diri di depan suami, itu boleh dan dianjurkan. Tapi yang terjadi belakangan ini adalah, justeru ‘modis’ para wanita tersebut dalam hal mewarnai rambut, malah diperlihatkan pada yang bukan muhrimnya. Tentu itu haram hukumnya. Jangankan mewarnai rambut, memperlihatkan rambutnya pada yang bukan muhrim saja tidak boleh.

”Seorang wanita dilarang berhias untuk selain suaminya” ( H.R. Ahmad, Abu Daud, dan An Nasa’i)

· Tasabuh dalam menyemir rambut.

Jika pada zaman Rosul, perintah menyemir rambut adalah karena agar tidak menyerupai kaum kafir yang pada waktu itu tidak menyemir rambutnya. Maka kini, tidak sedikit orang muslim yang menyemir rambutnya justeru mengikuti gaya orang kafir.

Mulai dari dark blonde, dark nlonde copper, chocolate brown, brown, mocha, dan hazel, juga warna-warna gelap dan terang lainnya.

Padahal Rosul memerintahkan kita agar tidak taqlid atau tasabuh pada suatu kaum dan mengikuti mereka( yahudi, nasrsani), agar selamanya kepribadian umat muslim berbeda dengannya.

Dalam hadist yang diriwayatkan Abu Huhrairah , Rosulullah mengatakan:

“Sesungguhnya orang yahudi dan nasrani tidak mau menyemir rambut mereka karena itu berbedalah dengan mereka” ( riwayat Bukhari)

Namun sekarang, merekapun menyemir rambutnya, maka lebih baik, jika memang bukan karena alasan yang syar’i, kita tak perlu mewarnai rambut kita. Karena dengan mewarnai rambut kita, secara langsung ataupun tidak akan menyerupai yahudi dan nasrani.

Seperti yang telah saya sebutkan tadi, bahwasannya saya akan membagi atau mengklasifikasi mengenai hukum mewarnai rambut, khususnya yang berkaitan dengan pewarna yang berwarna hitam.

Ø Secara Tekstual

Jika kita memahaminya hanya sekedar menelan bulat-bulat redaksi hadits yang paling pertama saya sebutkan diatas tersebut, dapat dipastikan permasalahan akan selesai tidak menyeluruh jika tanpa harus mendefinisikan lebih dalam lagi.

Dalam makalah ini, saya mungkin tidak bermaksud menafsirkan suatu hadits. Karena keterbatasan dan kemampuan saya mengenai tafsir itu sendiri pun masih belum memenuhi syarat.

Namun memaknai hadits diatas, konteksnya sekarang adalah, bukan hanya soal warna yang boleh dipakai atau yang tidak boleh dipakai untuk menyemirnya, melainkan ada konteks lain yang sekarang berbalik dari keadaan pada zaman waktu itu. Yakni konteks keadaan dan tujuan.

Yang saya sebut sebagai kondisional dan fungsional tadi.

Ø Secara kondisional dan fungsional

Secara kondisional, pada saat itu dibolehkan disemir rambut adalah karena keadaan yang sedang dihadapi sahabat yakni untuk menghadapi musuh. Agar musuh segan.

Kemudian, secara fungsional.

Mengapa Rosul melarang mewarnai dengan warna hitam? Agar yang tadinya beruban, tidak terlihat seperti lebih muda. Karena jika terlihat seperti lebih muda karena rambutnya yang dihitamkan, otomatis itu mengandung unsur penipuan.

Dan unsur penipuan ini yang menjadi dasar bagi tidak dibolehkannya memakai semir rambut warna hitam.

Tetapi ada titik temu dalam perbedaan ini, dalam sarah bukhori muslim menyebutkan bila wajah-wajah kami masih kencang maka boleh menyemir rambut, akan tetapi bila wajah telah keriput dan gigi kami telah tanggal maka menyemir rambut tidak di sunahkan.

Maka saya lebih cenderung kepada pandangan Ibn al-Jawzi yang menyatakan bahwasannya setiap orang harus mengenali dirinya sendiri. Jika mewarnai rambut itu, entah warna hitam ataupun warna-warna lain dengan bertujuan (secara fungsional) memungkinkan dirinya bersama-sama orang muda dalam gelanggang maksiat dan memuja nafsu, itu dilarang.

KESIMPULAN

Intinya, kembali lagi pada : “innamal a’malu binniyat” Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung kepada niat.

Karena walaupun menyemir rambut dengan warna (baik non hitam ataupun hitam) tapi niat dan tujuannya salah, atau kondisional dan fungsionalnya salah, maka itu hanya menghasilkan perbuatan yang salah juga.

Dan perlu kita renungkan juga, Uban pada hakikatnya adalah penanda bahwa usia kita sudah tua, perjalanan hidupnya mungkin lebih separuh usia telah berlalu. Jadi dengan adanya Uban, kita diperingatkan untuk lebih mengingat yang Menciptakan Uban tersebut.

Jadi, alangkah lebih bijak jika kita tidak mewarnai rambut dengan alasan yang tidak syar’i.